Memilih Slow Living di tengah Gempuran Fast Living, Salahkah?

 



Pernahkah kalian merasa lelah dengan manusia saat ini? Ya, orang-orang seperti sangat sibuk mengejar sesuatu. Seperti berdosa saat kamu menjadi pribadi yang biasa saja. Menjadi karyawan biasa dengan pendapatan yang biasa-biasa saja namun cukup untuk memenuhi kebutuhan harianmu. Menjadi seseorang yang mempunyai gaya hidup biasa saja.

Tidak mengikuti tren, tidak pergi ketempat-tempat viral, tidak mewajibkan staycation untuk melepas penat. Healing terbaik bagimu adalah bersantai dirumah, bermalas-malasan di dalam kamar, cheating day dengan menu-menu junk food sambil scroll sosmed. Kalau iya, tos dulu, kita sama!

Ya, aku merasakannya. Aku seperti pribadi yang tidak spesial saat memutuskan menjadi manusia dengan prestasi biasa-biasa saja. Sepertinya aku tertinggal jauh dari orang lain. Seolah aku ini tidak pantas disebut sukses.


Mengenal Hustle Culture dan Fast Living

Ilustrasi: hiruk pikuk pekerja setiap hari. (source: pexels)


Hustle culture adalah sebuah budaya yang menekankan bekerja keras dan produktivitas berlebihan, seringkali tanpa memperhatikan waktu istirahat dan kesehatan diri. Istilah ini mengacu pada gaya hidup di mana seseorang merasa perlu untuk terus bekerja keras dan beristirahat hanya sebentar agar bisa mencapai kesuksesan. Hustle culture mendorong seseorang untuk bekerja tanpa henti, memprioritaskan pencapaian tujuan karir di atas segalanya, bahkan mengorbankan waktu istirahat dan kesehatan

Fast living adalah gaya hidup yang ditandai dengan kecepatan, efisiensi, dan kesibukan yang tinggi. Dalam gaya hidup ini, segala sesuatu dilakukan dengan cepat dan tergesa-gesa, seringkali tanpa memberikan waktu yang cukup untuk beristirahat atau menikmati momen-momen kecil dalam hidup. 

Orang yang menjalani fast living biasanya memiliki jadwal yang sangat padat, baik dalam pekerjaan maupun kegiatan sosial. Gaya hidup ini seringkali menimbulkan tekanan dan stres karena merasa selalu terburu-buru dan dikejar waktu. Akibat jadwal yang padat, orang yang menjalani fast living cenderung kurang memiliki waktu untuk diri sendiri, untuk beristirahat, atau menikmati hobi. Gaya hidup ini seringkali dikaitkan dengan pengejaran kesuksesan dan pencapaian materi. 

Sukses dimata orang-orang saat ini adalah bekerja di perusahaan besar ternama, jika itu perusahaan startup maka perusahaan tersebut harus viral di sosmed dengan gaji dua digit. Fashion kerja yang kekinian dengan pekerjaan yang super padat dari pagi hingga malam, menenteng laptop, menyetir mobil kemana-mana untuk meeting dengan klien, dan megakhiri weekend dengan self healing bernilai fantastis. Wow, sumpah kalian keren!

Lalu bagaimana denganku? Hahaha, semua itu berbanding terbalik dengan keseharianku. Saat setiap orang mempunyai target yang luar biasa, aku justru memilih menjadi karyawan biasa. Saat mereka berlomba menggapai gaya hidup sesuai tren, hidupku justru biasa-biasa saja. Apakah aku salah? Apakah aku berdosa jika tidak ikut andil dalam arus kebanyakan orang?


Menu Kopi untuk Menemanimu WFC

 

Memilih Slow Living di Era Fast Living

Ilustrasi: hidup tenang di tengah hiruk pikuk kota. (source: pixabay)


Slow living adalah sebuah konsep gaya hidup yang menekankan pada kesadaran, kesederhanaan, dan menikmati setiap momen dalam hidup dengan lebih lambat. Konsep ini bertujuan untuk melawan budaya serba cepat dan konsumtif yang seringkali menyebabkan stres dan ketidakpuasan. Slow living bukan berarti bermalas-malasan, tetapi lebih kepada memilih untuk melakukan sesuatu dengan kualitas yang lebih baik dan dengan kesadaran penuh. 

Ya, kita memang dituntut untuk serba cepat dan hebat. Jujur aku terkadang terlampau lelah melihat hiruk-pikuk pekerja saat ini. Seolah mereka tak ada ruang sedikitpun untuk bernafas. Huft, melelahkan sekali. Mereka harus berlomba dengan mentari, berdesak-desakan menuju tempat penghasil cuan. Tak berhenti raga dan otak mereka berputar dari senin hingga jumat. Bahkan, terkadang mereka masih memaksa memeras raga dan pikiran disaat orang lain melepas lelah dan tidur lelap. Ah, ternyata dunia memang sesibuk ini.

Tidak salah untuk menjadi biasa. Kita berhak menentukan arah hidup kita. Pun, tak ada salahnya menjadi luar biasa. Menjadi pribadi yang ambisius, bersemangat, dan penuh inovasi. Yang salah adalah saat kita memaksakan diri seperti orang lain.

Ingat, hidup kita itu ibarat sepatu. Dan kita mempunyai ukurannya masing-masing. Saat ukuran sepatu itu kekecilan, sudah selayaknya kita mencari yang lain. Bukan malah memaksakan kaki kita untuk masuk ke lubang yang sempit. Sudah pasti rasa sakit yang kita terima.

Pun sebaliknya, saat ukuran sepatu itu terlampau besar maka, sepatu akan mudah terlepas karena longgar. Dan saat sepatu kesayangan kita hilang, kita pasti akan merasa sangat sedih. Jadi, sebelum kehilangan, lebih baik mencari yang sesuai.

Carilah ukuran sepatu yang pas dengan kaki kita. Mungkin tak sebagus dan semahal sepatu orang lain. Tapi setidaknya itu membuat kita nyaman. Nyaman untuk sekedar dikenakan, nyaman saat kita pakai berjalan, dan bisa jadi sangat nyaman ketika kita hendak berlari kencang.


Mengenal Quiet Quitting Lebih Dekat

 

Mendadak Resign

source: freepik


Keputusan yang sedikit berani dan konyol menurut orang-orang adalah saat aku memutuskan resign di usia yang tak lagi muda. Ya, aku yang awalnya masih bertahan sebagai karyawan biasa tiba-itiba saja memilih untuk keluar dari pekerjaan yang sudah lebih dari 10 tahun kugeluti. Gila? Hmm, mungkin. Hahaha. Tapi mau bagaimana lagi? Itu yang aku inginkan.

Kenapa resign? Itu yang jadi pertanyaan banyak orang. Bukan Cuma mereka, akupun juga bertanya kenapa aku resign?

Aku cukup lama mencari jawabannya. Sebelum memutuskan untuk berhenti, aku sudah  memikirnya masak-masak selama kurang lebih 2 tahun. Dan jawabannya ternyata sederhana, apa yang aku lakukan tidak lagi sesuai dengan keinginan hatiku.

Aku tak ubah seperti sebuah boneka tanpa hati nurani yang bergerak tanpa nyawa. Bangun setiap pagi, bersiap rapi ke kantor, dan menghiasi wajah murung dengan senyum menawan setiap harinya. Itu yang selalu aku lakukan dari hari Senin hingga Jumat. Kemudian akan menghabiskan pundi-pundi rupiah di akhir minggu dengan kedok self healing. Wow! Sungguh ironi, hahaha.

Baiklah, sepertinya aku harus menyudahi ini semua, menyudahi diriku yang harus memakai topeng setiap hari hanya untuk menyenangkan orang lain. Menyudahi kepura-puraanku untuk berusaha ikut andil dalam hiruk pikuk dunia yang sungguh tak kupahami. Entah  mereka yang terlalu bersemangat atau justru aku yang terlalu apatis menatap dunia. Well, bukankah setiap manusia berhak menentukan jalan hidupnya masing-masing? Mari saling menghargai itu. Hahaha!

Dan kali ini, saatnya aku berterima kasih pada raga yang telah kupaksa kuat selama berpuluh tahun. Terima kasih karena sudah bertahan sejauh ini. Terima kasih untuk tetap bangkit walau tubuh terasa sakit. Terima kasih untuk tetap tersenyum saat menyambut pagi yang mungkin terasa sesak. Berharap hari ini adalah hari yang indah, hari yang patut disyukuri walaupun mendung dan badai ada di depan mata. Terima kasih sudah sekuat ini, terima kasih diriku!

Posting Komentar

17 Komentar

  1. Tulisan ini seperti pelukan hangat di tengah dunia yang serba cepat. Reminder bahwa nggak apa-apa melambat dan menikmati hidup versi kita sendiri. Dalem banget

    BalasHapus
  2. Inilah aku ditahap slow living. Mengikuti kata hati, bersantai tapi tetap produktif dan tentunya memahami diri sendiri paling utama. Karena fast living sudah ku lalui sebelumnya...

    BalasHapus
  3. Nggak salah sama sekali. Saya juga dulu resign setelah hampir 10 tahun kerja. Ngerti rasanya hidup ritmenya gitu-gitu aja dan kelelahan mengejar 'hidup ideal'. Slow living justru jadi tren karena efek fast living era sekarang. Makanya saya sempat baca generasi muda justru ngga mau ngantor. Maunya kerja from home/anywhere

    BalasHapus
  4. Sebagai manusia kita memang sering membandingkan diri dengan orang lain, terutama dalam hal pencapaian. Tp terkadang, hal ini dibentuk dr keluarga sendiri, krn orang tua selalu membandingkan kita dgn anak tetangga, atau sepupu yang lebih pintar atau baik. Dan setelah dewasa juga terpicu untuk menjalani fast living

    BalasHapus
  5. Wuih keren banget, Kak. Gak semua orang berani ambil keputusan sesuai dg kata hati.

    BalasHapus
  6. Nggak salah kok memilih untuk hidup biasa-biasa saja dalam artian slow living di tengah gempuran fast living. Lebih nyaman dan santai. Cukuplah semuanya.

    BalasHapus
  7. Saya salah satu yang capek banget ngikuti sosmed. Rasanya tuh slow living tuh lebih humble menurutku daripada fast living. Cuma saat ini berusaha menyelaraskan antara fast living dan slow living dalam beberapa aspek. Some How, ada beberapa hal yang nggak bisa masuk dalam slow living dan ada beberapa hal yang justru lebih berhasil di fast living. Hehehe.. :D

    BalasHapus
  8. Memilih slow living ataupun fast living, mnrtku balik ke pilihan masing2 yaa...
    Semua ada risikonya dan konsekuensi yg mesti dipikul.

    Jd, pastikan apapun yg dipilih, tetep berusaha work life balance agar jiwa raga amann

    BalasHapus
  9. Keren kaa...
    Kamu uda bisa membuktikan bahwa pilihanmu berada di track yang benar dan sesuai dengan kata hati.
    Keputusan ini tentunya gak mudah yaa.. tapi dirimu sudah berhasil melewati fase tersebut dengan lancar.

    Kini, masuk ke fase berikutnya..
    Menjalani slow living sebagai gaya hidup dan berbahagia dengannya.

    Masalah yang datang, pastinya slalu kan ada.
    Tetap semangaattt, ka Resa!

    BalasHapus
  10. Tos dulu yuk! Ah, tulisan ini seperti menyuarakan isi hatiku. Duluuu..di awal karir aku mau tak mau mengikuti fast living itu. Namun semakin ke sini semakin.kusadari, slow living lebih sesuai dan nyaman bagiku. Terimakasih sharing tulisannya yaa..

    BalasHapus
  11. Daku juga demikian kak, gak memikirkan mau kayak apa gitu dengan viral atau fast living, yang penting mah daku bahagia meski dianggap biasa haha

    BalasHapus
  12. Di tengah budaya serba cepat dan pencapaian yang dipajang di mana-mana, kadang hidup tenang dan biasa aja malah bikin kita merasa tertinggal, padahal sebenarnya nggak salah sama sekali.

    Slow living bukan berarti malas atau nggak punya ambisi, tapi lebih ke memilih ritme hidup yang sesuai dengan kapasitas dan kebahagiaan pribadi.

    BalasHapus
  13. Aku juga termasuk slow living kak tapi jujur kepikiran karena usia sudaj 40 tapi finansial belum stabil dan masih harus mengumpulkan uang untuk pendidikan anak

    BalasHapus
  14. Keren kak. Tetap bangga dengan apa yang kita miliki hari ini ya, memilih slow living pun masuk privalage saat orang" terlalu sibuk dengan dunianya. Karena tak orang tidak punya waktu untuk diri mereka, sehingga untuk menjadi dirinya sendiri hrus butuh pengakuan dari orang lain dlu. Hidup slow living sepertinya bikin kita menjadi manusia tentram dan damai yaa

    BalasHapus
  15. Aku tim keduanya, sih. Jadi manusia fast living tapi hidup di kota yang slow living abis. Karena ada beberapa tuntutan-tuntutan yang membuatku harus melakukan keduanya sekaligus and it's fine hahaha.

    Kalau menurutku, disesuaikan saja sih dengan kebutuhan karena adaa yang pengen hidup slow living tapi nggak ssemuanya bisa, dan sebaliknya

    BalasHapus
  16. Saya penganut slow living setelah resign dan sampai sekarang merasa bersyukur, ini semacam privilage diantara kehidupan zaman sekarang yang ritmenya dituntut serba cepat bahkan cenderung instan.

    Semangaat untuk terus produktif apapun gaya hidup yang kita pilih

    BalasHapus